Jumat, 22 Juli 2016

PENTINGNYA PERDA BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN




Oleh : Supianto, SH., MH.*)
Dimuat dalam Kolom Opini Radar, Jember 3 September 2015

Sejak tahun 2010, masyarakat beberapa kali dikagetkan dengan maraknya pemberitaan media tentang ketidakadilan dalam proses hukum yang dialami oleh sebagian warga negara Indonesia. Misalnya dalam kasus Nenek Minah, warga Banyumas berusia 55 tahun, yang dijatuhi hukuman 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan karena dituduh mencuri tiga biji kakao seharga Rp. 2.000,00. Kasus kedua yang menjadi perhatian publik secara nasional adalah kasus Nenek Asyani.  Nenek Asyani berasal dari Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo. Asyani didakwa melakukan pencurian 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi pada 7 Juli 2014.
Kedua kasus diatas hanya merupakan contoh kecil dari ketidakadilan terhadap warga negara dihadapan hukum. Bahkan dapat dikatakan mereka lebih beruntung dibandingkan dengan nasib warga negara lainnya, karena kasusnya sempat dipublikasikan oleh media dan mendapat banyak dukungan dari masyarakat, sedangkan warga negara lainnya tidak demikian. Setidaknya ada dua hal yang menjadi kesamaan dari dua kasus diatas, yaitu keduanya tidak didampingi oleh advokat dalam menjalani proses hukum, dan keduanya tergolong kedalam masyarakat yang miskin. Berdasarkan fakta diatas dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum di Indonesia masih belum mampu menyediakan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang membutuhkan keadilan.
Sejak Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum disahkan pada tanggal 4 Oktober 2011 sebenarnya akses masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum sudah terbuka. Namun hal ini belum banyak diketahui oleh masyarakat secara luas. Oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus oleh pemerintah agar harapan masyarakat terutama masyarakat miskin untuk memperoleh keadilan dalam proses penegakan hukum dapat terwujud.
Secara teoritis, Bantuan Hukum dianggap mampu memberikan kesamaan dan jaminan terhadap seluruh masyarakat tanpa terkecuali, dalam menikmati perlindungan  dan menciptakan persamaan dihadapan hukum. Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan. Pendampingan hukum kepada setiap orang tanpa diskriminasi merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum tersebut. Tanpa adanya pendampingan hukum maka kesetaraan dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai-nilai universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi.
Bantuan hukum merupakan media bagi warga Negara yang tidak mampu untuk mendapatkan akses terhadap keadilan sebagai manifestasi jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum meliputi masalah pemberdayaan warga negara yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan dan masalah hukum faktual yang dialami warga negara yang tidak mampu dalam menghadapi kekuatan negara secara struktural dalam proses hukum. Pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga Negara yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat kearah peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam prakteknya, seperti dalam kasus diatas bantuan hukum masih minim dalam pelaksanaan.
Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi dasar bagi Negara untuk menjamin hak-hak warga Negara yang tidak mampu untuk mendapatkan akses kepada keadilan dan persamaan dihadapan hukum. Dana untuk penyelenggaraan bantuan hukum secara nasional dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk ditingkat daerah, Undang-Undang Bantuan Hukum mengamanatkan untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing daerah. Hal ini karena pembentuk undang-undang menyadari bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak akan mampu menanggung semua permohonan bantuan hukum untuk semua daerah dari seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 19 Undang-Undang Bantuan Hukum memberi ruang kepada daerah untuk mengalokasikan dana bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing daerah. Memang, Undang-Undang Bantuan Hukum tidak mewajibkan daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD, karena ketentuan pasal 19 ayat (1) menggunakan kata “dapat”, yang berarti bahwa ketentuan pasal ini memberikan pilihan bagi daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum atau tidak. Pilihan sepenuhnya tergantung pada political will dan komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD untuk menyediakan akses keadilan kepada warganya yang kurang mampu secara ekonomi melalui pemberian bantuan hukum. Apabila  Pemerintah Daerah dan DPRD menghendaki dana penyelenggaraan bantuan hukum dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka harus diatur melalui Peraturan Daerah (Perda).
Penyelenggaraan bantuan hukum merupakan upaya Pemerintah untuk memenuhi dan implementasi Negara hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak warga Negara dan kesamaan dihadapan hukum. Kabupaten Jember sampai dengan saat ini belum memiliki Peraturan Daerah tentang bantuan hukum. Mengingat pentingnya Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ini maka diperlukan komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Jember untuk segera mengimplementasikan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Jember tentang Bantuan hukum. Oleh karena itu semua pihak perlu memberikan dorongan kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Jember agar pemenuhan hak-hak warga Negara khususnya masyarakat Jember yang kurang mampu terhadap akses keadilan dan persamaan dihadapan hukum dapat terwujud. 
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Jember dan Kepala Lembaga Bantuan Hukum dan HAM UIJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar