Oleh :
Supianto, SH., MH.*)
Dimuat dalam
Kolom Opini Radar, Jember 3 September 2015
Sejak tahun
2010, masyarakat
beberapa kali dikagetkan dengan maraknya pemberitaan media tentang
ketidakadilan dalam proses hukum yang dialami oleh sebagian warga negara
Indonesia. Misalnya dalam kasus Nenek Minah, warga
Banyumas berusia 55 tahun, yang dijatuhi hukuman 1,5 bulan kurungan dengan masa
percobaan 3 bulan karena dituduh mencuri tiga biji kakao seharga Rp. 2.000,00.
Kasus kedua yang menjadi perhatian publik secara
nasional adalah kasus Nenek Asyani. Nenek Asyani berasal dari Dusun
Kristal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng,
Kabupaten Situbondo. Asyani didakwa melakukan
pencurian
38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi pada 7 Juli 2014.
Kedua
kasus diatas hanya merupakan contoh kecil dari ketidakadilan terhadap warga
negara dihadapan hukum. Bahkan dapat dikatakan mereka lebih beruntung
dibandingkan dengan nasib warga negara lainnya, karena kasusnya
sempat dipublikasikan oleh media dan mendapat banyak dukungan dari masyarakat, sedangkan warga negara lainnya tidak demikian.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi kesamaan
dari dua kasus diatas, yaitu keduanya
tidak didampingi oleh advokat dalam menjalani
proses hukum, dan keduanya tergolong kedalam masyarakat yang
miskin. Berdasarkan fakta diatas dapat
dikatakan bahwa proses penegakan hukum di Indonesia masih belum mampu menyediakan akses bantuan hukum bagi
masyarakat miskin yang membutuhkan keadilan.
Sejak Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum disahkan pada tanggal 4 Oktober 2011
sebenarnya akses masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum sudah
terbuka. Namun hal ini belum banyak diketahui oleh masyarakat secara luas. Oleh
karena itu perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus oleh pemerintah
agar harapan masyarakat terutama masyarakat miskin untuk memperoleh keadilan
dalam proses penegakan hukum dapat terwujud.
Secara
teoritis, Bantuan Hukum dianggap mampu
memberikan kesamaan dan jaminan terhadap seluruh masyarakat tanpa terkecuali,
dalam menikmati perlindungan dan menciptakan persamaan dihadapan hukum. Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan
seseorang tidak boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan.
Pendampingan hukum kepada setiap orang tanpa diskriminasi merupakan perwujudan
dari perlindungan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum tersebut. Tanpa
adanya pendampingan hukum maka kesetaraan dihadapan hukum sebagaimana
diamanatkan konstitusi dan nilai-nilai universal hak asasi manusia tersebut
tidak akan pernah terpenuhi.
Bantuan hukum merupakan media
bagi warga Negara yang tidak mampu untuk mendapatkan akses terhadap keadilan sebagai manifestasi jaminan hak-haknya secara
konstitusional. Masalah bantuan hukum meliputi masalah pemberdayaan warga negara
yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan dan masalah hukum faktual yang
dialami warga negara yang tidak mampu dalam menghadapi
kekuatan negara secara struktural dalam proses hukum. Pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan
pendidikan penyadaran hak-hak warga Negara yang tidak mampu khususnya secara
ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat kearah
peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun
dalam prakteknya, seperti dalam kasus diatas bantuan hukum masih minim dalam
pelaksanaan.
Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi dasar bagi Negara
untuk menjamin hak-hak warga Negara yang tidak mampu untuk mendapatkan akses
kepada keadilan dan persamaan dihadapan hukum. Dana untuk penyelenggaraan bantuan
hukum secara nasional dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Untuk ditingkat daerah, Undang-Undang Bantuan Hukum mengamanatkan untuk
mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di masing-masing daerah. Hal ini karena pembentuk
undang-undang menyadari bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
tidak akan mampu menanggung semua permohonan bantuan hukum untuk semua daerah
dari seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 19 Undang-Undang Bantuan Hukum memberi ruang
kepada daerah untuk mengalokasikan dana bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di masing-masing daerah.
Memang, Undang-Undang Bantuan Hukum tidak mewajibkan daerah untuk mengalokasikan
dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD, karena ketentuan pasal 19 ayat
(1) menggunakan kata “dapat”, yang berarti bahwa ketentuan pasal ini memberikan
pilihan bagi daerah untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum
atau tidak. Pilihan sepenuhnya tergantung pada political will dan komitmen Pemerintah Daerah dan DPRD untuk
menyediakan akses keadilan kepada warganya yang kurang mampu secara ekonomi
melalui pemberian bantuan hukum. Apabila Pemerintah Daerah dan DPRD menghendaki dana penyelenggaraan bantuan hukum dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka harus diatur melalui
Peraturan Daerah (Perda).
Penyelenggaraan bantuan hukum merupakan upaya
Pemerintah untuk memenuhi dan implementasi Negara hukum yang melindungi dan
menjamin hak-hak warga Negara dan kesamaan dihadapan hukum. Kabupaten Jember
sampai dengan saat ini belum memiliki Peraturan Daerah tentang bantuan hukum. Mengingat
pentingnya Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum ini maka diperlukan komitmen
yang kuat dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Jember untuk segera
mengimplementasikan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Jember tentang
Bantuan hukum. Oleh karena itu semua pihak perlu memberikan dorongan kepada
Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Jember agar pemenuhan hak-hak warga Negara
khususnya masyarakat Jember yang kurang mampu terhadap akses keadilan dan
persamaan dihadapan hukum dapat terwujud.
*) Dosen
Fakultas Hukum Universitas Islam Jember dan Kepala Lembaga Bantuan Hukum dan
HAM UIJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar