Kamis, 13 Oktober 2016

MASJID SUNDA KELAPA

Dulu, ketika masih di Jakarta, saya menumpang di tempat tinggal saudara saya, Agung Prabowo, di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Itu terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sekarang, saudara saya ini sudah hidup makmur bersama keluarga di Amerika.
Tidak jauh dari sana ada masjid besar bernama Masjid Agung Sunda Kelapa. Jaraknya hanya sekitar dua ratus meter saja. Setiap ada kesempatan, saya usahakan untuk sholat berjamaah di masjid ini. Selain karena jamaahnya yang ramai, masjid ini juga banyak mengadakan kegiatan keagamaan.
Setiap subuh, saya usahakan untuk rutin berjamaah. Yang menjadi pengalaman menarik, jalan yang dilalui dari rumah menuju ke masjid adalah tempat mangkalnya para pria gemulai yang sedang mencari pelanggan. Ketika berangkat atau pulang dari masjid, terkadang saya melewati kelompok mereka yang sedang mangkal.
Penampilan mereka menarik, dengan pakaian seksi dan rias wajah yang cantik. Tidak jarang saya pun digoda oleh mereka, dengan suaranya yang lebay gemulai.
“Haaay …. Mas……, habis sembahyang ya….?
Disapa oleh mereka seperti itu, saya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala saja, tanpa berkata apa-apa. Ada sedikit kekhawatiran dan rasa takut dalam hati. Bagaimanapun, secara fisik mereka ini adalah laki-laki.
Kegiatan keagamaan di Masjid Sunda Kelapa yang pernah saya ikuti adalah pengajian ilmu agama. Yang menarik adalah, penceramahnya merupakan tokoh-tokoh penting dan terkenal. Tokoh yang sering muncul di televisi. Kalau biasanya saya mengikuti ceramah tokoh itu melalui televisi, saat itu saya mendengar dan melihat ceramahnya secara langsung. Dan itu menjadi kepuasan dan kebanggan tersendiri bagi saya.
Suatu ketika, sehabis sholat Isya, digelar acara semacam silaturahmi antara tokoh organisasi keagamaan. Saya tertarik untuk mengikuti. Dengan sabar, saya menunggu acaranya dimulai. Saya lihat jam dinding menunjukkan angka sembilan lebih, ketika acara dimulai.
Kesabaran saya menunggu ternyata tidak sia-sia. Dalam acara itu hadir tokoh-tokoh besar, antara lain, Gus Dur, Amin Rais, Nurkholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, Yusril Ihza Mehendra, dan masih banyak yang lain. Ketika itu, kalau tidak keliru, Gus Dur masih menjadi ketua Nahdatul Ulama dan Amin Rais menjadi ketua Muhammadiyah.
Pada saat Gus Dur dan Amin Rais memasuki ruangan, para hadirin serentak melantunkan Sholawat Nabi. Dan saat keduanya bersalaman, para pengunjung bertepuk tangan dengan gemuruh. Sebagian mereka meneriakkan kata-kata, “Islah…., Islah….”. Saya yang saat itu masih muda, tidak mengerti apa maksud dari kata-kata itu.
Saya ikuti acara itu dengan penuh semangat dan antusias. Tak terasa waktu telah melewati tengah malam ketika acara ditutup oleh moderator. Saya pulang dengan perasaan senang dan bangga, karena baru saja bertemu dengan tokoh-tokoh dengan pemikiran yang cemerlang.
Satu hal lain yang menarik dari Masjid Sunda Kelapa adalah ketika usai sholat Jum’at. Seperti masjid-masjid lain, sholat jumat berjalan dengan khusuk dan lancar. Suasana berubah ketika imam sholat telah membaca salam sebagai tanda bahwa sholat sudah berakhir.
Sesaat kemudian, halaman masjid telah berubah menjadi pasar rakyat. Banyak sekali pedagang yang berjualan segala macam kebutuhan. Buku-buku, pakaian, makanan, mainan anak dan lain sebagainya. Suasana halaman masjid berubah, dari yang tadinya sunyi dan khusuk, berubah menjadi bising oleh suara pedagang yang menjajakan barang dagangannya.
“Mari…mari…., tiga sepuluh ribu…. Tiga sepuluh ribu…..”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar