Selasa, 25 Oktober 2016

BADAI

Tepat tengah hari, ketika saya berangkat dari kota Utan Rhee menuju pelabuhan Pototano, Sumbawa. Hari itu saya putuskan untuk pulang ke Mataram karena beban pekerjaan tidak terlalu banyak dan mendesak.
Utan Rhee adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat. Letaknya di jalur lintas antara Pelabuhan Pototano dan kota Sumbawa Besar. Pelabuhan Pototano sendiri adalah pelabuhan yang menghubungkan antara Pulau Sumbawa dan Pelabuhan Kayangan di Pulau Lombok.
Usai membeli tiket, saya langsung diarahkan untuk masuk ke dalam kapal. Penumpang masih terlihat sepi ketika saya masuk. Hanya ada beberapa sepeda motor, yang sudah tata rapi di bagian depan. Ada satu bus antar kota yang berada persis ditengah badan kapal.
Saya langsung naik ke ruang penumpang di bagian atas. Disana pun tampak lengang. Saya mencari tempat duduk yang agak nyaman untuk menikmati pemandangan laut. Terdengar suara klakson kapal sebagai pertanda kapal akan berangkat. Meskipun penumpangnya hanya sedikit, kapat ini tetap berangkat, karena waktunya telah tiba.
Cuaca terlihat cerah, ketika kapal mulai bergerak meninggalkan pelabuhan. Tak ada kekhawatiran sedikitpun dalam hati saya berkenaan dengan perjalanan laut ini. Barangkali karena sudah terbiasa. Perjalanan laut dari Sumatera ke Jawa, Jawa Bali, Bali Lombok dan Lombok Sumbawa, sudah sering saya lakukan. Biasa saja.
Menjelang setengah perjalanan, cuaca berubah. Langit mulai gelap karena gumpalan-gumpalan awan hitam menutupi cahaya matahari. Hujan mulai turun, anginpun mulai terasa bertiup agak kencang. Saya yang tadinya duduk di kursi paling ujung sebelah kanan, pindah agak ke tengah. Saya lihat penumpang lain juga melakukan hal yang sama.
Ombak laut mulai terasa menghantam kapal. Sedikit-demi sedikit hantamannya semakin keras. Saya menoleh kearah Nakhoda kapal yang tengah mengendalikan arah kapal menyesuaikan dengan gelombang yang datang. Terlihat masih tenang, dengan konsentrasi tinggi.
Hujan turun semakin deras. Gelombang laut semakin besar mengombang ambingkan kapal. Penumpang satu demi satu mulai bergerak kearah tempat penyimpanan pelampung. Sambil terus berpegangan pada tiang-tiang kapal. Saya pun tak mau ketinggalan, pelan-pelan bergerak kearah pelampung itu dan mengambilnya satu. Dengan cepat saya kenakan, sambil berpegangan pada tiang.
Tiba-tiba, kapal serasa meluncur dari ketinggian. Dada terasa berdesir seperti melayang diudara. Saya menoleh ke sisi kanan kapal, saya terkejut, terlihat permukaan air laut lebih tinggi daripada badan kapal. Lalu kapal terangkat tinggi di puncak gelombang.
Tak lama kemudian, gelombang itu menghantam dinding kapal dan “Byurrrr….”, hantaman air laut itu membasahi lantai kapal hingga ke tengah, tempat para penumpang berkumpul. Tak cukup sekali, hantaman itu kembali berulang-ulang.
Sebagian penumpang terlihat berdoa dengan khusuk. Sebagian lagi melantunkan zikir, sambil sesekali meneriakkan takbir “Allahuakbar”, ketika gelombang datang menghantam. Suasana tegang sangat terasa. Tetapi untungnya, tidak ada penumpang anak-anak. Sayan membayangkan seandainya ada penumpang anak-anak, pasti keadaan akan lebih pani dan kacau karena jerit tangis anak-anak itu.
Saya hanya terdiam, sambil berzikir dalam hati, mengingat kebesaran Allah SWT. Saya teringat akan firmannya,
"Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur." (Q.S. Yunus : 22)
Sekali lagi, saya melihat kearah Nakhoda, dia terlihat cukup kerepotan mengendalikan arah kapal. Kemudi kapal, sebentar diputar ke kiri sebentar ke kanan, mengikuti arah gelombang yang datang. Saya perhatikan arah kapal ini tidak lagi lurus ke depan, tetapi menyerong kearah kanan. Menyerong agak jauh. Saya menduga hal ini merupakan strategi Nakhoda untuk menghindari terjangan gelombang.
Seperti kata pepatah, tak selamanya badai terus menghantam. Badai pasti berlalu. Perlahan-lahan ketegangan para penumpang mulai berkurang, seiring dengan meredanya gelombang yang datang. Cuaca mulai terlihat agak terang, seiring dengan tampaknya dermaga pelabuhan kayangan dimana kapal akan bersandar, tak lama lagi.
Saya lihat jam dinding di depan ruang penumpang. Saya ingat-ingat jam berapa kapal tadi mulai meninggalkan pelabuhan Pototano. Lebih dua setengah jam, kapal itu diombang-ambingkan gelombang. Perjalanan yang biasanya hanya satu jam atau lebih sedikit saja, hari itu ditempuh dua kali lipatnya. Tetapi bagi kami, waktu itu terasa lama sekali. Sangat lama.
Tak lama berselang, kapal sudah merapat di dermaga. Satu persatu, penumpang turun dari lantai dua menuju kendaraan masing-masing. Di lantai bawah, tempat kendaraan diparkir, masih basah oleh air laut. Disudut-sudutnya masih terrlihat air yang menggenang. Dengan perasaan terkejut, saya lihat bus antar kota itu. Tadi, ketika berangkat berada persis ditengah kapal, tetapi sekarang sudah bergeser menempel sisi kiri dinding kapal.
Dengan perasaan penuh syukur, saya naik kedalam bus itu. Tak henti-hentinya, dalam hati memuji kepada Sang Maha Pemurah,
“Alhamdulillahrabbil’alamiin”.
“Badai Pasti Berlalu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar