Senin, 26 September 2016

SATU KELUARGA SATU ANAK

Suatu ketika, dalam perjalanan kereta api dari Solo ke Jember, saya duduk sebangku dengan seorang turis, dari wajahnya sepertinya orang China. Orangnya masih muda, kira-kira berumur tiga puluh tahun. Wajahnya kelihatan bersih dan rapi. Dia naik dari Surabaya dengan tujuan Probolinggo.
Saya yang tidak terlalu pandai Bahasa Inggris, karena memang tidak pernah kursus, memberanikan diri mengajak ngobrol.
“Hallo, sampean berasal dari mana, Mas?”
“Hallo, saya dari Beijing, China.”
Ternyata orangnya tidak bisa sama sekali Bahasa Indonesia, hanya bisa Bahasa Inggris dan bahasa China, pastinya.
“Sampean tujuannya mau kemana?”, Saya ajukan pertanyaan lagi.
“Mau ke Probolinggo, terus ke Gunung Bromo”.
“Sudah berapa kali sampean berkunjung ke Indonesia?”.
“Ini yang kedua, tetapi belum pernah ke Bromo”.
Saya perhatikan bule ini orangnya intelek. Saya ambil kesempatan untuk Tanya-tanya lebih banyak. Perjalanan dari Surabaya ke Probolinggo kurang lebih dua jam lamanya, jadi saya manfaatkan waktu sebaik-baiknya.
“Mas, boleh nggak saya tanya-tanya?”
“Ok, silahkan”
“Sampean di Beijing kerja apa?”
“Saya programmer computer di perusahaan Amerika di Beijing. Kalau sampean pekerjaannya apa, Pak?”, Dia balik bertanya kepada saya.
“Lawyer”, saya jawab singkat.
Saya perhatikan wajahnya agak heran ketika saya jawab bahwa pekerjaan saya adalah lawyer. Mungkin dia heran, “lawyer kok kayak gini”. Karena berdasarkan informasi yang saya peroleh, profesi lawyer, di luar negeri terutama Negara yang sudah maju, profesi lawyer adalah profesi yang elit. Tidak mudah untuk masuk fakultas hukum. Seleksinya sangat sulit dan yang benar-benar pandai yang bisa masuk. Berbeda dengan di Negara kita, untuk masuk fakultas hukum sangat mudah, seolah-olah hanya menjadi pilihan terakhir, “buangan”. Pilihan jurusan yang dianggap elit adalah kedokteran, teknik atau pendidikan. Cepat-cepat saya netralisir percakapan, dengan mengatakan, “Lawyer disini tidak sama dengan lawyer disana”. Dia hanya tersenyum dan manggut-manggut.
“Sampean apa sudah berkeluarga?”, Saya bertanya lagi.
“Sudah, saya sudah punya satu orang anak”.
“Bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang hanya mengijinkan satu keluarga satu anak?”.
“Lho, kok bapak tahu tentang kebijakan itu?, Dia bertanya dengan nada keheranan.
“Saya membaca tentang kebijakan pemerintah China”.
Memang pada tahun 1978, pemerintah China menerapkan kebijakan kontroversial dengan membatasi hanya boleh memiliki satu anak saja. Kebijakan ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan penduduk China yang meningkat sangat pesat. Kebijakan satu anak ini ternyata tidak diterima dengan senang hati oleh rakyat cina, karena secara prinsip maupun penerapannya dianggap melanggar hak asasi manusia dalam menentukan jumlah anggota keluarganya sendiri. Termasuk oleh turis yang disebelah saya ini.
“Kebijakan itu sangat tidak mengenakkan”, katanya.
“Kalau kebijakan itu diterapkan, berarti satu anak yang lahir punya dua orang tua, dua kakek, dan dua nenek yang siap membantu apa yang diperlukan oleh si anak, baik dalam kehidupannya maupun pendidikannya. Menurut saya kebijakan itu bagus”, Saya mencoba berpendapat.
“Dari sisi itu, memang iya. Tetapi dirumah tidak menyenangkan, suasananya sangat sepi. Hanya ada satu anak”.
“Kalau itu dilanggar, apa sanksinya?”.
“Ooh, dendanya sangat besar?”. Jawabnya.
Saya berfikir sejenak, bagaimana seandainya kebijakan itu diberlakukan di Indonesia. Pasti akan jadi ribut. Karena kultur kita masih menganggap “banyak anak, banyak rejeki”, walaupun kenyataannya tidak selalu demikian.
Seandainya kebijakan itu diberlakukan, saya yakin dihari pertama kebijakan itu diberlakukan, pasti akan langsung diajukan uji materi ke MK.
***
Konon, berdasarkan sumber mbah gugel, Sejak akhir Oktober 2015 kemarin, kebijakan ini telah dihapus dan rakyat China boleh memiliki hingga 2 anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar