Selasa, 21 Februari 2017

DESA BARU, DULU KEDELAI KINI SAWIT

Ketika pulang kampung beberapa waktu lalu, saya sempat diajak Bapak untuk melihat-lihat beberapa bidang kebun kami. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar dua kilometer saja. Letaknya disebelah utara dari perkampungan kami. Orang-orang desa menamakan daerah itu Banjar Belanti.
Kebun itu berada di tepi aliran sungai Batahan. Sungai yang sangat lebar dan deras. Sungai itupun menjadi pemisah batas dua propinsi, sebelah selatan sungai adalah Sumatera Barat dan sebelah utara sungai Sumatera Utara. Salah satu yang unik dari sungai ini adalah alirannya bisa berpindah-pindah. Ketika banjir besar melanda hingga setinggi bibir sungai maka aliran sungai itu akan berpindah.
Saya menduga perpindahan itu disebabkan oleh derasnya aliran air pada saat banjir menerjang, lalu membentuk aliran baru. Ketika saya terakhir ke kebun itu kira-kira dua puluh lima tahun lalu, tepi aliran sungai berjarak lebih dari tiga ratus meter dari kebun kami. Kini, tanah di bagian pojok kebun itu telah tergerus aliran sungai. Kelihatannya akan terus tergerus.
Dulu, semua kebun kami ditanami kedelai. Bahkan, semua kebun-kebun lain yang ada di Desa Baru semuanya ditanami kedelai. Selain Banjar Belanti, kebun-kebun penghasil kedelai adalah Banjar Jaya, Pigogah, Bancah Sodang dan Batu Sondet. Wilayah Desa Baru dulunya menjadi alah satu sentra penghasil kedelai terbesar di Sumatera Barat. Sungguh prestasi yang membanggakan ketika itu. Konon, Bapak Presiden Suharto pernah mengundang beberepa petani untuk datang ke Istana Negara karena prestasi itu.
Kini, sepanjang perjalanan ke kebun, saya tak lagi mengenali suasananya. Tak juga jalan-jalannya. Tak ada lagi kandang-kandang ternak di belakang rumah, padahal dulunya hampir disetiap keluarga memelihara sapi atau kambing. Tak terlihat juga orang-orang desa yang “ngarit” mencari rumput untuk ternak mereka. Semuanya telah berubah sama sekali.
Kebun-kebun yang dulu berupa hamparan tanah yang terbuka sejauh mata memandang, kini tak lagi bisa terlihat kearah manapun. Hanya rerimbunan pohon kelapa sawit. Daun-daunnya saling bertautan satu sama lain hingga tanahnya tak tertembus sinar matahari, lembab.
Bila saya berdiri ditempat yang agak tinggi, sejauh mata memandang hanya terlihat hijau hutan kelapa sawit saja. Hutan homogen yang terasa membosankan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar