MENUJU PROFESI ADVOKAT
PENDAHULUAN
Advokat atau Pengacara memiliki
kedudukan yang mulia dan terhormat sehingga ia disebut sebagai Officium Nobile. Profesi advokat disebut
sebagai profesi yang mulia karena profesi ini sebagai salahsatu pilar dalam
menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia serta mengupayakan
pemberdayaan masyarakat dalam menyadari hak-haknya yang fundamental dihadapan hukum.
Sebagai praktisi hukum, advokat secara aktif dan langsung mengupayakan prinsip
persamaan dan kesederajatan setiap orang dihadapan hukum yang lebih dikenal
dengan prinsip equality before the law.
Dalam masyarakat umum, profesi
advokat masih sering disalahpahami. Sudah menjadi komentar yang bernada sinis
bahwa advokat atau pengacara justru menjadi pembela orang yang bersalah.
Sebahagian lagi beranggapan bahwa advokat hanya membela mereka yang memiliki
uang saja, sedangkan terhadap orang yang tergolong miskin justru dijauhi oleh
para advokat. Anggapan maupun komentar tersebut tidaklah semuanya benar, tetapi
juga tidak sepenuhnya salah. Hal ini karena tidak semua anggota masyarakat
memahami posisi profesi advokat yang sesungguhnya.
Bagi sebagian orang yang sudah
memahami hukum, tentu tidak akan beranggapan demikian. Justru keberadaan
advokat dalam proses penegakan hukum sangat penting untuk menjaga dan mengawal
agar penegakan hukum tidak menyimpang. Advokat harus memposisikan dirinya
sebagai penyeimbang bagi aparat penegak hukum agar proses penegakan hukum tidak
justru menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Dilain pihak, anggapan sebahagian
masyarakat yang mengatakan bahwa advokat hanya membela kepentingan orang bersalah
dan yang memiliki uang, juga tidak sepenuhnya salah. Hal ini dapat terjadi
karena tidak semua advokat bekerja dengan mengedepankan moralitas. Selalu ada
di masyarakat seorang advokat dalam menjalankan pekerjaannya dengan menggunakan
cara-cara yang justru bertentangan dengan hukum. Telah banyak contoh yang
membenarkan anggapan tersebut, misalnya, ada seorang advokat yang ditangkap
oleh pihak berwajib karena menyuap seorang hakim agar dapat membebaskan
kliennya dari hukuman. Contoh lain misalnya ada seorang advokat yang
diberhentikan oleh dewan kehormatan advokat karena pelanggaran berat terhadap
kode etik advokat. Namun demikian, profesi advokat sebagai profesi yang mulia
ini tetap mulia meskipun ada sebahagian orang yang berprofesi advokat tidak
menjalankan profesinya dengan mengedepankan moralitas dan kode etik
advokat.
***
Menjadi seorang advokat pada saat ini
menjadi impian banyak orang. Profesi advokat menjadi pilihan utama bagi banyak
mahasiswa Fakultas Hukum setelah menyelesaikan kuliahnya. Setiap tahun, ribuan sarjana hukum
mengikuti ujian profesi advokat yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI), sebagai satu-satunya organisasi advokat yang dibentuk
berdasarkan undang-undang advokat. Banyak
diantara peserta ujian tersebut yang telah mengikuti ujian pada tahun
sebelumnya karena belum lulus. Penulis sendiri pernah mencoba bertanya kepada
rekan sesama peserta ujian profesi advokat yang pernah penulis ikuti, mengenai sudah
berapa kali mengikuti ujian advokat. Seorang rekan yang duduk didepan penulis
menjawab sudah dua kali ujian sebelumnya. Kemudian penulis bertanya kepada rekan yang duduk
disebelah kiri, lalu dijawab bahwa ini adalah ujian yang keempat yang
diikutinya.
Bagi sebagian peserta ujian profesi
advokat, soal ujian yang diujikan sangat berat dan sulit untuk dikerjakan,
sehingga ada peserta yang telah beberapa kali mengikuti ujian baru bisa lulus.
Bagi sebahagian peserta yang lain, tingkat kesulitan soal yang diujikan tidak
terlalu sulit, hanya dengan satu kali mengikuti ujian bisa langsung lulus. Memang,
selama ini tingkat kelulusan ujian profesi advokat rata-rata hanya tiga puluh
persen. Bagi peserta yang belum lulus, sebanyak tujuh puluh persen sisanya,
apabila masih bertekad ingin berprofesi sebagai advokat, harus mengikuti ujian
pada tahun berikutnya.
Rendahnya tingkat kelulusan ujian
profesi advokat, dilihat dari sisi peserta ujian, terdapat beberapa kemungkinan, pertama, peserta ujian tidak menguasai materi yang diujikan. Kedua, peserta ujian tidak siap secara
mental atau kehilangan konsentrasi dalam mengerjakan soal. ketiga, terjadi kesalahan teknis dalam pengerjaan soal, dan keempat, terjadi pelanggaran tata tertib
ujian yang mengakibatkan peserta didiskualifikasi oleh panitia ujian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar