Minggu, 28 April 2019

KPPS : Para Pahlawan Pemilu

Ini adalah catatan saya tentang pelaksanaan pemungutan suara beberapa hari yang lalu. Catatan ini merupakan bentuk apresiasi saya terhadap kinerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai tim yang bertanggung jawab atas terlaksananya pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kita, sebagai pemilih, tahunya semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu, sudah disiapkan dengan baik dan lengkap. Tinggal datang ke TPS untuk mencoblos surat suara yang sudah disediakan. Bahkan, kadangkala apabila ada satu atau dua hal yang terlupa, kita sudah protes dengan perkataan yang tidak mengenakkan atau bahkan menuding mereka telah melakukan kecurangan.
Tepat pukul 7.10, saya sudah tiba di TPS. Disana sudah ada satu orang yang datang lebih dulu. Tidak seperti Pemilu-Pemilu sebelumnya, kali ini saya datang lebih awal. Maksudnya agar tidak terlalu lama antri menunggu giliran. Juga sebagai bentuk antusiasme dan dukungan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Pada jam itu, semua petugas KPPS tengah melaksanakan upacara atau ritual pembukaan pelaksanaan pemungutan suara, termasuk pembacaan sumpah. Awalnya, saya mengira bahwa pada jam 7.00 itu sudah bisa dimulai pencoblosan, tetapi ternyata pada jam itu baru dimulainya kegiatan di TPS.
Usai pembukaan, kegiatan berikutnya adalah pembukaan kotak suara yang masih dalam keadaan tersegel. Disaksikan oleh saksi dari Panwas dan dari partai politik. Semua dokumen dan kertas suara diperiksa dan dihitung satu persatu. Jumlahnya disesuaikan dengan yang tertulis dalam dokumen. Pekerjaan inilah yang sesungguhnya sangat menyita waktu. Masing-masing surat suara didalam kotak suara dihitung dan disaksikan oleh para saksi. Satu kotak suara selesai, lalu berganti ke kotak suara berikutnya sampai pada kotak suara ke lima. Masing-masing kotak suara untuk Pilpres, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.
Satu hal yang perlu dicatat dalam pelaksanaan Pemungutan Suara kemarin adalah sikap kehati-hatian dari semua anggota KPPS. Setiap tahap kegiatan yang dilakukan harus disaksikan dan disetujui oleh para saksi, baik dari Panwas maupun dari partai politik. Langkah ini dilakukan untuk menghindari adanya penolakan atau pengingkaran dari pihak-pihak yang berkepentingan nantinya.
Saya menunggu dengan sabar dan ikut menyaksikan semua tahap kegiatan itu dilakukan. Hingga pada jam 7.50, barulah pemilih pertama dipanggil untuk masuk ke bilik suara untuk melakukan pencoblosan. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk berada di bilik suara, karena apa yang akan saya pilih sudah saya tentukan sebelumnya. Bila belum punya pilihan sebelumnya, paling tidak, diperlukan waktu antara tiga sampai dengan lima menit untuk menyelesaikan pemilihan pada lima surat suara. Ukuran surat suara yang besar, kecuali surat suara untuk Pilpres, membutuhkan waktu untuk membuka dan melipatnya kembali.
Pukul satu siang, kegiatan pemilihan ditutup. Tahap selanjutnya adalah penghitungan suara. Dilanjutkan dengan merekap hasil pemilihan kedalam formulir-formulir yang sudah ditentukan untuk dilaporkan ke PPK. Ketua KPPS menceritakan kepada saya bahwa timnya baru bisa menyelesaikan semua laporan ke PPK pada jam 2.00 dinihari. Dari ceritanya pula saya ketahui bahwa timnya itu termasuk yang cepat dalam menyiapkan berkas laporan itu. Bahkan ada beberapa tim yang baru selesai pada jam 7.00 paginya.
Dari cerita tersebut, saya bisa memahami adanya berita yang tersebar beberapa hari terakhir ini tentang meninggalnya beberapa orang ketua KPPS karena kelelahan yang disebabkan beratnya pekerjaan dan tanggung jawab seorang ketua KPPS.
Dengan melihat bagaimana cara mereka bekerja, bagaimana ketelitian mereka serta ditambah dengan pengawasan dari saksi Panwas dan dari partai politik, saya meyakini bahwa mereka bekerja dengan jujur dan penuh integritas. Tentu saja, barangkali ada beberapa laporan tentang tuduhan kecurangan, semua itu haruslah bisa dibuktikan.
Tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar untuk kepentingan sesaat semacam itu, apalagi bila dimaksudkan untuk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilihan umum, hal itu sangat menyakitkan perasaan mereka. Menyakitkan perasaan mereka yang telah bertanggung jawab terhadap lebih dari 800.000 TPS di seluruh Indonesia.
Terima kasih para Pahlawan Pemilu...

PARTAI PILIHAN PERTAMA

Saat nama saya dipanggil oleh petugas untuk masuk ke bilik suara, saya sudah siap dengan pilihan partai mana yang akan saya coblos. Tak perlu waktu untuk saya berpikir, semua sudah ada dalam pikiran saya. Dengan yakin saya coblos semua kartu suara dengan pilihan yang sama.
Pilihan itu adalah bentuk perlawanan terhadap kekuasaan saat itu. Kekuasaan Orde Baru. Walaupun sebenarnya saya tidak terlalu paham dengan proses politik dan semua hal yang terkait dengan itu, pilihan itu hanya bentuk perlawanan saja. Perlawanan karena idealis dari anak-anak yang masih muda yang ingin menunjukkan ketidak setujuannya kepada pemerintah. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah dengan memilih partai yang berbeda dengan partai pendukung penguasa.
Bukan tanpa alasan ketika pilihan yang saya ambil adalah pilihan yang berlawanan dengan partai pemerintah. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena pengaruh dari orang tua asuh yang saya ikuti sewaktu saya sekolah SMA.
Saat sekolah SMA itu, saya tinggal di masjid. Masjid Al Jihad namanya. Menempati salah satu bangunan disamping masjid. Bangunan itu memang sengaja diperuntukkan bagi anak-anak sekolah yang rumahnya jauh dari sekolah.
Masjid Al Jihad ini dikelola oleh seorang takmir yang bernama Bapak Anang yang juga menjadi anggota DPRD dari partai PPP. Rumah Pak Anang berada disisi lain masjid yang terpisah oleh jalan. Saya seringkali dimintai tolong untuk mengantarkan beliau ke terminal saat beliau akan pergi ke kantor DPRD untuk bersidang. Jarak yang jauh antara rumahnya dengan Kota Kabupaten ditempuhnya dengan menggunakan angkutan umum. Bukan karena suatu alasan tertentu, tetapi karena beliau memang tidak punya mobil waktu itu.
Dari beliaulah saya dan teman-teman sesama penghuni masjid Al Jihad itu banyak belajar. Belajar agama, belajar berbicara didepan umum dan belajar kesederhanaan. Dari beliau pula kami mendapatkan cerita-cerita tentang perjuangan dalam bidang politik. Termasuk tentang pemberian nama Al jihad untuk masjid itu juga yang mencerminkan bentuk perjuangan dalam mewujudkan apa yang menjadi harapannya. Al Jihad diartikan sebagai upaya perjuangan.
Cerita-cerita yang heroik dari beliau itulah yang menginspirasi saya untuk mengikuti atau setidaknya mencoba mewujudkan salah satu bentuk perjuangan untuk melawan penindasan dari penguasa. Meskipun sebagai anak muda, saya masih belum paham betul dengan apa sebenarnya yang hendak diperjuangkan. Namun perjuangan bisa diawali dengan memberikan dukungan kepada beliau dalam Pemilu. Dengan cara memilih partainya dalam Pemilu.
Ketika giliran nama saya dipanggil, saat itulah perjuangan politik dimulai dengan mencoblos gambar partai berwarna hijau.

PENGALAMAN PERTAMA MENCOBLOS

Masa-masa Pemilu ini mengingatkan kembali saat saya pertama kali mengikuti Pemilu. saya dan orang-orang yang seumuran dengan saya, pertama kali bisa mengikuti Pemilu pada tahun 1992. Pemilu 2019 ini adalah Pemilu yang ke tujuh yang pernah saya ikuti.
Pemilu tahun 1992 itu berlangsung hampir bersamaan dengan kelulusan saya dari SMA. Sebagai pemilih pemula, sangat wajar bila saya sangat antusias dengan pesta demokrasi yang berlangsung sekali dalam lima tahun itu.
Tidak seperti sekarang yang akses informasi dan komunikasi begitu mudah dan cepat, dulu berita-berita tentang pelaksanaan Pemilu hanya melalui televisi dan radio. Apalagi di tempat tinggal saya yang sangat jauh terpencil dan belum seluruhnya dialiri listrik. Listrik yang sudah ada, hanya menyala pada malam hari saja, sejak jam enam sore sampai jam enam pagi. Siaran Televisi ketika itu hanya ada satu saja, yaitu TVRI, itu pun gambarnya masih hitam putih. Begitu pula dengan radio, hanya bisa menerima siaran RRI saja.
Meskipun begitu, melihat pelaksanaan pemilu bukan sesuatu yang asing dan baru bagi saya. Karena dalam beberapa kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya, Tempat Pemungutan Suara (TPS) selalu ditempatkan di rumah saya. Terkadang di teras, lain waktu di dalam rumah. Bapak saya termasuk orang yang aktif dan sangat mendukung kegiatan-kegiatan pemerintah semacam itu. Sehingga selalu mengijinkan dengan senang hati menyediakan rumahnya dijadikan untuk TPS. Alasan lain, barangkali karena memang ruang teras agak luas dan ada ruangan di dalam rumah yang terbuka tanpa sekat-sekat sehingga memudahkan untuk dijadikan tempat pemungutan suara.
Suasana saat pemilihan tidak bisa dibandingkan dengan sekarang atau setelah reformasi 1998 yang semua orang bebas mengemukakan pendapat dan berserikat. Saat itu adalah masa kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru yang cenderung otoriter. Tidak banyak orang yang berani bicara soal politik apalagi sampai mengkritik pemerintah. Begitu pula saat pemilihan di TPS, orang-orang yang memilih terlihat hanya sekedar formalitas saja. Apalagi orang-orang desa yang hampir semuanya petani, mereka tidak mau mencari masalah. Toh, hasil akhirnya nanti sudah tahu siapa yang akan menang.
Pemilihan umum dahulu tidak serumit sekarang. Dulu hanya ada tiga partai saja, PPP, Golkar dan PDI saja. Masing-masing partai memiliki warna khas yang menjadi penanda dan identitas partai yang memudahkan kita untuk memilih. Warna hijau untuk PPP, warna kuning untuk Golkar dan merah untuk PDI.
Kita hanya perlu memilih wakil kita untuk anggota Legislatif saja, tidak ada DPD dan Pilpres seperti sekarang. Anggota Legislatif yang dipilih adalah untuk DPRD Tingkat Kabupaten, DPRD Tingkat Provoinsi dan DPRRI. Cara pemilihannya sangat sederhana, kita hanya perlu mencoblos salah satu tanda gambar partai saja untuk masing-masing anggota legislatif tadi. Tidak perlu coblos nama calon anggota legislatif, karena tidak ada nama-nama caleg dari masing-masing partai tadi.
Saat nama saya dipanggil oleh petugas untuk masuk ke bilik suara, saya sudah siap dengan pilihan partai mana yang akan saya coblos nanti.