Senin, 06 Maret 2017

DONOR DARAH, MENYELAMATKAN KEHIDUPAN

Ketika awal-awal Ibu menderita sakit pada tahun 2007 lalu, saya pulang menjenguknya. Saat itu Ibu dirawat di RSU Padang Panjang, Sumatera Barat. Beliau dirawat disana agar lebih dekat dengan tempat tinggal kakak saya. Beberapa hari kemudian, keadaannya kemudian mulai membaik, saya pun pamit kembali ke Jawa.
Tak lama setelah tiba di rumah, saya kembali mendapat kabar bahwa keadaan Ibu semakin parah dan harus dirujuk ke RS. M. Jamil, Padang. Dokter mengatakan bahwa Ibu menderita sakit Leukemia. Ketika itu kami tidak tahu apa itu Leukemia. Belakangan baru saya ketahui, Leukemia atau kanker darah terjadi akibat produksi sel darah putih yang terlalu cepat. Lalu Dokter menyarankan agar Ibu di transfusi darah.
Kakak saya segera mendatangi PMI untuk memperoleh darah yang diperlukan. Sayangnya, stok darah yang sesuai di PMI waktu itu sedang menipis. Sedangkan kebutuhan untuk transfusi cukup banyak. Selebihnya, harus mencari tambahan dengan cara membawa pendonor sendiri.
Lalu saudara-saudara saya berusaha mencari pendonor sendiri, dengan cara mendatangkan orang-orang dari desa kami ke Kota Padang untuk dicek darahnya untuk didonorkan. Saya membayangkan betapa beratnya pekerjaan itu.
Jarak desa kami dengan Kota Padang lebih dari tiga ratus kilometer. Mendatangkan orang-orang untuk mendonorkan darahnya dengan jarak sejauh itu, bukan pekerjaan yang ringan. Masalahnya lagi, tidak semua orang yang didatangkan itu darahnya cocok dan layak untuk didonorkan.
Saya sangat menghargai dan menaruh hormat yang sangat tinggi atas usaha dan kerja kerasa saudara-saudara saya untuk menolong dan menyelamatkan Ibu. Saya sendiri, yang berada jauh terpisah ribuan kilometer, tak banyak yang dapat dilakukan. hanya mampu berdoa.
Mendapat kabar bahwa keadaan Ibu semakin kritis, saya putuskan segera pulang kembali. Harapan saya saat itu setidaknya, dapat menemani Ibu diakhir-akhir hayatnya. Namun apa daya, perjalanan jauh tidak selalu sesuai dengan yang direncanakan.
Akhirnya, kehendak Allah jua yang berlaku. Keadaan ibu semakin kritis dan tak lama kemudian, Ibu pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Saya tak sempat melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.
Hari sudah menjelang malam ketika saya tiba di rumah, ketika orang-orang sedang membacakan tahlil untuk mendoakan Ibu. Allahumaghfirlaha, Warhamha...
Sepanjang perjalanan ketika itu saya terus berfikir, seandainya lebih banyak orang yang berdonor dengan sukarela, tentu stok darah di PMI tidak sampai menipis. Seandainya stok darah tercukupi, tentu beban saudara-sudara saya tidak mesti sekeras itu untuk mencari pendonor. Seandainya, transfusi itu dapat terus dilakukan, tentu masih ada harapan Ibu untuk bertahan. Setidaknya, kepergiannya tidak secepat itu.
Sejak saat itu, saya bertekad untuk menjadi pendonor darah sukarela. Pendonor sukarela secara rutin, agar kejadian yang menimpa keluarga kami tidak terjadi pada orang lain.
Hingga kini, tekad itu masih tetap kuat dan terlaksana dengan istiqomah.
Mari berdonor untuk menyelamatkan kehidupan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar