Sabtu, 23 Juli 2016

MENCERMATI PERDA PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN


Artikel Opini Harian Radar Jember, 15 April 2016


Langkah DPRD Kabupaten Jember yang telah memasukkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Jember Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) tahun 2016 (Radar Jember, 6/4/2016), perlu mendapat dukungan semua pihak. Masuknya Raperda ini dalam Prolegda tahun 2016 sebagai inisiatif DPRD merupakan jawaban bagi kegelisahan banyak pihak terkait dengan banyaknya alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan pemukiman maupun industri akhir-akhir ini.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian di Jember tampak menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Secara kasat mata dapat kita lihat dari pembangunan kawasan pemukiman atau perumahan menempati lahan yang sebelumnya merupakan lahan pertanian produktif. Terutama perumahan-perumahan yang berada di wilayah kota Jember.
Melihat keadaan demikian ini, perlu dilakukan langkah-langkah untuk menyelamatkan lahan pertanian di Kabupaten Jember. Terlebih lagi, Kabupaten Jember merupakan salah satu sentra produksi pangan nasional yang memberi kontribusi bagi ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, kita perlu memberi apresiasi dan mendorong kepada DPRD Jember agar Perda perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat segera disahkan.
Sebenarnya upaya Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ini dinilai agak terlambat, karena secara nasional, upaya ini telah dimulai sejak tahun 2009 dengan disahkannya UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahirnya undang-undang ini merupakan wujud dari tanggung jawab Negara berkaitan dengan terjaminnya hak atas pangan bagi segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat fundamental sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya.
Lahan pertanian memiliki peran dan fungsi strategis bagi masyarakat kita yang bercorak agraris. Karena sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Dengan demikian, lahan pertanian tidak saja memiliki nilai ekonomis, tetapi juga sosial, bahkan memiliki nilai religius. Karena jumlahnya tidak bertambah maka lahan pertanian merupakan sumber daya alam yang bersifat langka. Namun disisi lain kebutuhan terhadap lahan pertanian selalu meningkat.
Pengalihan fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali merupakan ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan, baik yang bersifat lokal maupun secara nasional. Alih fungsi lahan mempunyai dampak yang serius terhadap produksi pangan. Dampaknya berimbas kepada kesejahteraan masyarakat petani yang kehidupannya bergantung pada lahan pertaniannya. Alih fungsi lahan-lahan pertanian subur dan produktif selama ini belum diimbangi dengan usaha-usaha yang sistematis dari pemerintah dalam mengembangkan lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru sebagai pengganti lahan pertanian yang telah berubah fungsi.
Dampak lain dari pengalihan fungsi lahan pertanian pangan adalah makin sempitnya luas lahan yang diusahakan oleh petani. Hal ini berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani itu sendiri. Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan melalui Perda Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan, sekaligus dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.
Dalam praktek, pola alih fungsi lahan pertanian yang terjadi selama ini dapat dipilah menjadi dua kategori, yaitu secara sistematis, dan secara sporadis. Pola alih fungsi lahan pertanian yang sistematis adalah pengalihan fungsi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman atau real estate, jalan raya, komplek perkantoran, dan sebagainya. Lahan pertanian pangan yang beralih fungsi ini pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Sedangkan alih fungsi lahan pertanian pangan yang bersifat sporadis adalah yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan pertanian umumnya. Luas lahan yang terkonversi biasanya kecil-kecil dan terpencar-pencar. Alih fungsi lahan pertanian dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan atau oleh pihak lain. Prosesnya diawali dengan adanya transaksi jual beli lahan. Proses alih fungsi lahan pertanian pada umumnya berlangsung sangat cepat. Terlebih lagi apabila penyebab jual belinya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Beberapa faktor penyebab tersebut antara lain meningkatnya jumlah penduduk. Pesatnya  peningkatan jumlah penduduk juga meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, sektor jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Kedua, karena faktor ekonomi, yaitu tingginya nilai ekonomi yang diperoleh dari aktivitas sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Selain itu, karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya seperti biaya pendidikan, mencari pekerjaan,  seringkali membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan pertaniannya.
Faktor lain yang memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian adalah adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang kurang memperhatikan kepentingan jangka panjang yang sebenarnya lebih penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Ditambah lagi dengan belum tegasnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian dan lemahnya penegakan hukum dari peraturan yang ada.
Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah suatu daerah. Pasal 23 ayat (3) UU No. 41 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa “Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota”. Oleh karena itu, Raperda Kabupaten Jember tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu mengacu dan menyesuaikan dengan Perda RTRW yang telah disahkan. Perlindungan lahan pertanian pangan dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi.
Perda tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini hendaknya meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan, pengembangan sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan petani, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan dilakukan dengan menghargai kearifan budaya lokal serta hak-hak komunal adat.
Kita berharap nantinya Perda Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ini nantinya mampu mengendalikan alih fungsi lahan pertanian yang selama ini berlangsung. Penegakan hukum harus menjadi benteng terakhir agar kepentingan-kepentingan ekonomi jangka pendek segelintir orang tidak mengalahkan kepentingan jangka panjang yang lebih luas dan menjadi hajat hidup mayarakat pada umumnya. Semoga..

*) Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Jember (UIJ).

1 komentar:

  1. Pak Supianto, tulisan anda ttg Raperda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan, sejalan dengan concern saya soal konversi lahan pertanian. Apakah Bapak tahu bagaimana kelanjutan raperda ini? Apakah benar, laju konversi lahan pertanian di Jember dapat berkurang dengan adanya aturan baru ini.

    Saya senang sekali jika bisa berdiskusi langsung dengan Bapak.
    Salam hormat saya,
    Dhoho A. Sastro, praktisi hukum di Jember (dh.sastro@gmail.com)

    BalasHapus